Cahaya Hati

Inspirasi, solusi, keimanan, ketakwaan, keikhlasan, ketentraman, kedamaian, rezeki, rumah tangga, dll.

Selasa, 19 Januari 2010

Mari Kita Renungkan







 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

Rabu, 11 November 2009

Untaian Do'a



Ya Allah
Kami berlindung kepada-Mu dan memohon kepada-Mu sesuatu yang kami tidak mengetahui hakikatnya


Ya Allah
Kami telah menganiaya diri kami sendiri
Dan sekiranya Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami
Niscaya kami termasuk orang-orang yang merugi

Wahai Allah Yang Maha Agung,
Ampunilah seluruh dosa kami
Tutupi dan hapuskan segala aib dan kesalahan kami
Dan berikan kepada kami kesanggupan untuk mengubah dan memperbaiki diri menjadi lebih baik
Karuniakanlah kepada kami akhlaq yang mulia
Pribadi yang indah dan terpelihara

Ya Allah
Karuniakanlah kepada kami ketenangan hati,
kedamaian hati,
kebeningan dan kebersihan hati,
ketenteraman jiwa
kesegaran berfikir
dan ingatan yang tajam
Usir dan buanglah segala kegelisihan, kekhawatiran, ketakutan, kecemasan dan kesedihan dalam hati dan jiwa kami.
Jadikan hati kami tenteram, tenang, dan damai dengan mengingat-Mu
Berharap dan bergantung hanya kepada-Mu

Wahai Pemilik dan Penguasa Segala Hati
Karuniakanlah kepada kami hati yang bening dan bersih
Hati yang suci, tulus dan ikhlas

Karuniakanlah kepada kami lisan yang indah dan bermutu,
Lisan yang hanya mengucapkan kata-kata yang baik dan bermanfaat,
Cegahlah lisan kami dari berkata-kata dusta dan sia-sia,
Cegahlah lisan kami dari kata-kata yang menyakitkan hati hamba-hamba-Mu,
Jadikanlah lisan kami menjadi jalan tersampaikannya kebenaran-Mu bagi hamba-hamba-Mu yang lain.

Wahai Allah yang Maha Memelihara,
Karuniakanlah kepada kami kesehatan, kenormalan, dan kesegaran jasmani dan rohani
Usir dan buanglah segala macam sakit dan penyakit yang menyerang diri kami
Normalkan segala yang tidak normal dalam diri kami

Wahai Allah Pelindung Yang Maha Kokoh,
Jauhkan dan hindarkan kami dari segala macam sakit dan penyakit,
dari segala mara bahaya, bala bencana, mala petaka dan musibah,
Lindungi kami dari niat buruk dan kejahatan makhluq-makhluq-Mu,
Lindungi kami dari tipu daya, gangguan, dan fitnah kaum kafir dan kaum munafiq,
Lindungi kami dari godaan-godaan dan bisikan-bisikan setan yang terkutuk,

Ya Allah,
Karuniakanlah kepada kami hati yang selalu bersyukur dan mengingat-Mu,
Jadikan hati kami hati yang tidak pernah lupa kepada-Mu,
hati yang ma’rifat mengenal-Mu,
hati yang penuh keimanan dan ketaqwaan kepada-Mu,
hati yang meyakini janji dan jaminan-Mu,
hati yang meyakini kokohnya perlindungan-Mu,
hati yang penuh kecintaan kepada-Mu

Jadikan hati ini
hati yang merasakan kesejukan beribadah kepada-Mu
Keindahan memohon dan bertaqarrub kepada-Mu
Ketenangan bergantung dan berharap hanya kepada-Mu

Ya Allah
Limpahkanlah kepada kami karunia dan pertolongan-Mu,
Bimbingan dan petunjuk-Mu,
Kasih sayang dan cinta-Mu,
Ampunan, rahmat, dan ridla-Mu,

Karuniakanlah kepada kami kecintaan kepada-Mu,
Kecintaan kepada Rasul-Mu,
Kecintaan kepada orang-orang yang mencintai-MU,
Kecintaan kepada Al-Qur’an, firman-Mu,
Kecintaan kepada segala amalan yang dapat mendatangkan cinta-Mu,

Ya Allah,
Karuniakanlah kepada kami pasangan hidup yang shalih/shalihah
yang mencintai-Mu dan Kau-cintai,
yang indah dan suci lahir batinnya,
yang bersih dan bening hatinya,
yang cerdas akal fikirannya,
yang mulia akhlaq dan budi pekertinya,
yang memiliki segala sifat yang baik.

Karuniakanlah kepada kami pernikahan yang barakah,
Keluarga sakinah, mawadah, warahmah
Keturunan yang shalih shalihah

Wahai Allah Yang Maha Kaya,
wahai Pemilik Segala sesuatu,
wahai Penggenggam setiap rezeki,
Karuniakanlah kepada kami rezeki yang barokah dan berlimpah,
Bukakan pintu-pintu rezeki yang halal dan barokah untuk kami,
Mudahkan kami menjemput rezeki kami di jalan yang halal dan Kau ridlai,
dan ringankan kami untuk menafkahkan segala yang Kau karuniakan di jalan-Mu dengan ikhlas
dan berilah kami rasa syukur dan ridla terhadap setiap pemberian-Mu

Wahai Allah Pemilik Segala Ilmu,
karuniakanlah kepada kami ilmu yang luas dan bermanfaat,
ilmu yang mencahayai hati dan hidup kami,
ilmu yang membuat hidup kami mudah di dunia ini
dan selamat dunia akhirat
ilmu yang membuat kami semakin ma’rifat mengenal-Mu,
ilmu yang membuat kami semakin takut dan taat kepada-Mu,

Ya Allah
Ampunilah segala dosa dan kesalahan kedua orang tua kami,
Terimalah segala amal kebaikannya
Indahkan sisa umurnya dalam ketaatan kepada-Mu


Ya Allah
Karuniakanlah kepada bangsa ini pemimpin yang shalih
Yang mencintai-Mu dan Kau cintai
Yang jujur, adil, dan amanah
Yang hanya takut kepada-Mu

Ya Allah
Karuniakanlah kepada bangsa ini akhlaq yang mulia

Ya Allah
Persatukan umat Islam di mana pun berada
Persatukan para ulama dan para pemimpin kami…

Ya Allah
Engkaulah Pemilik, Penguasa, dan Penggenggam segala keinginan, harapan, cita-cita, dan doa-doa kami.

Ya Allah
Kabulkan segala keinginan, harapan, cita-cita, dan do’a-do’a kami yang baik
Yang terucap maupun yang hanya terlintas di hati kecil kami
Dan berikanlah kepada kami jauh lebih baik dan lebih banyak dari semua itu

Selasa, 10 November 2009

Darimana Buruk Sangka Datang?




Kebiasaan berburuk sangka telah ada sejak lama. Di sekitar kita, bila dicermati, bertebaran sikap manusia yang berprasangka buruk. Sebutlah pandangan mata curiga, sinis, ekspresi kecut yang penuh apriori, sampai dalam bentuk sikap kasar yang tidak bersahabat.

Menurut para ahli, buruk sangka merupakan salah satu mekanisme psikologis yang paling alamiah dalam diri manusia. Karena itu, sulit sekali menghilangkan buruk sangka. Banyak faktor yang memicu merebaknya prasangka-prasangka buruk:

1. Faktor lingkungan
Lingkungan memberi pengaruh yang cukup besar bagi lahirnya sikap buruk sangka. Lingkungan dimaksud bisa keluarga, masyarakat, tempat bekerja, sekolah, dan lain sebagainya. Lingkungan yang kejam, kotor, dan tidak sehat seringkali memberi pengaruh kuat bagi lahirnya kebiasaan buruk sangka. Bahkan, dalam budaya orang-orang ‘primitif’, buruk sangka seringkali menjadi acuan utama kehidupan sosial mereka, sebagai kompensasi timbal balik dari lingkungannya yang memang buruk.

Seperti yang terjadi pada suku Dobu di Melanesia. Ideologi hidup mereka adalah sihir. Akibatnya, paradigma hidup mereka pun banyak yang terjungkal. Setiap anak-anak Dobu meyakini bahwa kehidupan mereka diatur oleh kekuatan sihir. Maka, begitu ada yang terkena bencana atau musibah, muncullah aksi balas dendam dari keluarganya kepada pihak-pihak yang diduga telah menyihir anggota keluarganya.

Setiap orang dari suku tersebut selalu takut kalau diracun. Makanan dijaga ketat. Hanya dengan orang-orang tertentu saja suku Dobu mau makan bersama. Sikap curiga, buruk sangka, tidak dapat dipercaya, menjadi budaya hidup mereka.

Lingkungan hidup yang keras bisa menumbuhsuburkan sikap cepat curiga. Ia identik dengan medan tempat setiap orang harus bertarung mempertahankan hidupnya.
Berjibaku mengejar apa yang bisa ia makan, meski harus memangsa orang lain dengan jalan yang salah. Bagaimana dengan lingkungan kita? Atau Bagaimana dengan lingkungan kerja kita?

2. Keyakinan yang salah
Keyakinan yang salah bisa melahirkan buruk sangka. Termasuk dalam kategori ini adalah ideologi atau aqidah yang salah. Seperti berburuk sangka kepada Allah, dengan menuduh-Nya tidak adil. Orang-orang jahiliyah sebelum Islam punya keyakinan yang terkait erat dengan prasangka buruk. Setiap memasuki hari-hari yang baru, mereka mengukur nasib dengan apa yang pertama kali mereka lihat. Bila pagi itu mereka melihat ular, atau burung gagak, atau apa saja yang berwarna hitam, pertanda hari buruk sedang menanti.

Dalam Islam, perilaku seperti itu disebut dengan tathayyur. Secara bahasa, tathayyur artinya sebuah perilaku menyandarkan sikap kepada burung (tha-ir). Tindakan seperti itu dilarang keras oleh Islam karena bisa merusak kemurnian akidah.

Buruk sangka dengan kemasan keyakinan seperti itu masih banyak menyebar dalam masyarakat. Terlebih bila masyarakat tersebut dahulunya penganut paham animisme. Tetapi, dalam perkembangan selanjutnya, masyarakat modern pun banyak yang masih terjerat perilaku seperti itu. Banyak yang menggantungkan nasibnya kepada ramalan-ramalan aneh.

3. Kepentingan Politik
Kepentingan-kepentingan politik juga menjadi pemicu lahirnya sikap buruk sangka. Definisi kepentingan politik yang dimaksud tidak selalu harus dalam konteks kekuasaan di sebuah negara, dari tingkat lurah sampai presiden. Bisa saja berbentuk politik pencapaian jabatan di sebuah instansi, politik pencapaian tujuan tertentu dalam sebuah organisasi, atau dalam sebuah komunitas masyarakat.

Di jaman Soeharto berkuasa, tak sedikit kebijakan politik yang dijalankan berdasarkan buruk sangka. Kekhawatiran dan ketakutan kepada umat Islam dalam kurun yang cukup lama telah menjadi alasan untuk berlaku diskriminatif kepada anak bangsanya sendiri.
Tragedi Priok misalnya, telah banyak memakan korban. Bahkan banyak orang yang sama sekali tak punya urusan dengan peristiwa Priok juga terdzalimi dengan kejam.

Pendek kata, kepentingan politik telah menjadikan alasan sistem kewaspadaan nasional sebagai pembenaran tindakan-tindakan brutal, yang dasarnya hanya prasangka buruk. Identifikasi bahwa semua orang Islam yang nampak konsisten disebut bagian dari ekstrim kanan, yang akan merongrong kewibawaan negara, menggulingkan pemerintahan yang sah, adalah idiom-idiom buruk sangka yang terus dijadikan komoditas politik Soeharto. Sayangnya, idiom ekstrim kanan juga masih didengungkan oleh penguasa saat ini. Bahkan, muncul kebiasaan menyebarkan prasangka dan keresahan dengan menyebut inisial, sebagai tertuduh dalam beberapa kasus.

Tentu semua orang tidak ingin, bila bangsa ini terus menerus dipimpin oleh penguasa yang kebijakan politiknya hanya berdasar buruk sangka, berpijak pada asumsi-asumsi buta, atau bahkan hanya karena selera suka atau tidak suka.

4. Estimasi Pertahanan Diri
Kadang, orang punya prasangka buruk demi kepentingan mempertahankan diri. Rasa aman yang ingin diperoleh seseorang sering kali diwujudkan dengan membuat lingkar pengaman secara psikologis atas semua orang yang dihadapi. Kebiasaan ini bahkan telah merambah ke sektor-sektor kehidupan harian. Ada penelitian unik (Baron & Byrne,1997) tentang kecenderungan para perawat di rumah sakit yang enggan merawat orang-orang gemuk, karena prasangka ringan (mild prejudice) yang tak berdasar. Mereka berprasangka bahwa orang gemuk umumnya sulit diberi pelayanan perawatan. Tentu saja ini belum tentu benar. Tapi, begitulah adanya.

Estimasi pertahanan diri yang dasarnya buruk sangka sangat berbahaya. Ia bisa melahirkan stereotipe. Sebuah penyeragaman pandangan atas suatu obyek dengan totalitas. Seperti sangkaan bahwa ‘laki-laki yang menuntun motor di tengah malam itu pasti pencuri’, ‘orang yang berambut panjang itu pasti preman’, dan lain sebagainya.

Pengalaman unik seorang pemuda berikut bisa menjadi pelajaran. Arman (24 tahun), sempat gemetar dan serta merta menjauhi laki-laki berkulit gelap berminyak, berambut gondrong, berbadan besar serta berpakaian lusuh yang menghampirinya. Malam itu, ia terpaksa tidur di emperan toko. Arman bukan pengemis atau gelandangan, melainkan pemuda ‘rumahan’ yang ‘terlunta-lunta’ di Jakarta. Dari Surabaya, Arman memutuskan mendatangi teman lamanya di Jakarta. Ia berencana menetap sementara di rumah temannya sambil mencari kerja, berbekal ijazah SMA dan beberapa ijazah kursus. Di luar dugaannya, sewaktu tiba di alamat yang dituju, temannya sudah pindah, dan -suatu hal yang tidak aneh- para tetangga tidak tahu alamat barunya.

Malam mulai tiba. Sementara Arman tidak ingin mengeluarkan uang untuk menginap di losmen. Ia khawatir, uang simpanannya keburu habis sebelum nasibnya jelas. Ketika malam semakin larut, akhirnya ia memilih emperan toko untuk bermalam. Tapi segera ia menyesali pilihannya, karena laki-laki gondrong itu sekonyong-konyong menghampirinya. Di kepalanya sudah berkecamuk, orang seram seperti itu pasti akan merampok, menganiaya atau bahkan membunuhnya.

Tapi laki-laki itu dengan ramah menegurnya, dan mengajaknya berbincang. Akhirnya, Arman justru menceritakan masalah yang menimpanya. Melihat ketulusan di sorot mata laki-laki itu, Arman tiba-tiba yakin, ia orang baik-baik. Bahkan ia melihat, laki-laki itu seperti iba padanya. Menurut pengakuan laki-laki itu, ia memiliki adik yang sebaya Arman, dan sekarang tinggal di kampung halamannya, di daerah Sumatera.

Akhirnya, malam itu Arman justru menginap di rumah laki-laki itu, di daerah kumuh pinggiran kali Ciliwung. Dan orang yang kemudian dipanggilnya Abang itu memberinya pekerjaan, sebagai kenek bis yang dikemudikannya. Beberapa bulan Arman tinggal di rumah laki-laki itu, yang ternyata benar-benar baik dan memperlakukan Arman seperti adiknya. Ia juga heran, di jaman seperti ini, masih ada orang yang tulus seperti itu. Kini Arman sudah bekerja sebagai pegawai di suatu kantor. Tapi ia tidak pernah melupakan kebaikan sang Abang.

Sikap stereotipe menilai sesuatu secara keseluruhan juga dialami oleh Musyarif (26). Ia mengisahkan pengalaman yang tak akan ia lupakan. Suatu hari seperti biasa ia naik bis umum dari tempat tinggalnya di Bekasi ke Jakarta untuk bekerja. Menjelang keluar tol UKI, dilihatnya seorang laki-laki dengan kacamata hitam terus mendekat-dekat kepada seorang wanita berjilbab. Musyarif yakin bahwa seorang copet sedang siap-siap beraksi. Ia berusaha sedikit menghalangi laki-laki itu. Begitu bus menurunkan penumpangnya di UKI, wanita berjilbab itu menggamit laki-laki berkacamata hitam itu dan menuntunnya. Ternyata laki-laki itu buta. Dari cara wanita itu membimbingnya, bisa dipastikan ia suaminya, atau paling tidak salah satu keluarga dekatnya."

Bila berlebihan, buruk sangka karena estimasi pertahanan diri bisa menjadi penyakit kepribadian seperti paranoid. Di mana orang punya rasa takut yang sangat berlebihan. Hingga melahirkan anggapan secara konsisten bahwa orang lain berusaha menuntut, merusak, atau mengancam. Bahkan, orang yang berpenyakit seperti itu menolak menceritakan rahasia kepada orang lain karena takut kalau informasi tersebut digunakan untuk melawan dirinya. Bisa juga berdampak kepada gangguan kepribadian skizotipal. Yaitu suatu sikap dan penampilan ganjil, selalu curiga, dan kecemasan sosial yang luar biasa terhadap orang yang tidak dikenal.

5. Ilmu yang Pas-Pasan
Keterbatasan ilmu juga menjadi pemicu bagi munculnya sikap buruk sangka. Minimnya pengetahuan akan berpengaruh pada kemampuan seseorang untuk memandang masalah, menyimpulkan, serta menentukan sikap atas berbagai peristiwa.

Dalam beberapa disiplin ilmu, kata ‘prasangka’ secara definitif diartikan sebagai penguasaan masalah sebesar 50 persen atau lebih tapi tidak sampai seratus persen. Ia sekaligus lawan dari kata ‘faham’, yaitu penguasaan masalah hingga seratus persen. Maka, orang yang tidak faham, sangat mungkin memaknai sesuatu dengan cara yang salah.

Setiap orang harus sadar, bahwa di atas yang tahu masih ada yang lebih tahu. Di atas yang berilmu masih ada yang lebih berilmu. Apalaqi hampir semua ilmu itu dinamis, berkembang, dan memunculkan hal-hal baru.

Buruk sangka karena keterbatasan pengetahuan bisa dihindari dengan mencari tahu. Dahulu, ketika Rasulullah memutuskan menerima perjanjian damai dengan orang-orang Quraisy di Hudhaibiyah, sebagian sahabat -termasuk Umar bin Khatab- memandang itu sebagai kekalahan. Tetapi dikemudian hari ia menyadari kekeliruan dugaannya.

Dahulu, Musa menganggap Hidhir telah bertindak aniaya. Membolongi perahu, membunuh anak, serta memperbaiki bangunan di suatu kampung yang penduduknya pelit. Setelah dijelaskan alasannya barulah ia menyadari bahwa dugaannya itu salah.

Disisi yang lain, ada juga hasil kesimpulan yang akhirnya memberikan nilai minus/kurang atas diri seseorang, yang mana instrumen penilaiannya benar-benar berdasarkan perangkat penilaian yang obyektif (misalnya mengacu pada poin-poin syakhsiyah Islamiyah). Namun ironisnya penilaian itu justru dianggap sebagai kesimpulan yang dipenuhi oleh rasa buruk sangka. Akibatnya, orang yang ilmu-nya pas-pas-an justru menaruh simpati kepada orang yang telah dinilai kurang tersebut. Lebih parah lagi jika rasa simpati itu sudah bersemayam sejak lama, sehingga melahirkan sikap proteksi atas semua penilaian yang kurang atas orang yang dikaguminya. Inilah bentuk lain dari buruk sangka terhadap suatu evaluasi yang obyektif. Wallahu’alam. Hanya orang yang kuat dan berilmu, yang mampu memikul amanah.

6. Diskriminasi ‘Besar-Kecil’
Adanya diskriminasi atas ‘orang-orang kecil’ oleh ‘orang-orang besar’ dalam berbagai bentuk juga merupakan salah satu korban buruk sangka. Seringkali orang-orang kaya memenuhi pikirannya dengan persepsi bahwa orang-orang miskin itu kumuh, udik, bodoh, bahkan pencuri. Padahal, orang-orang ‘besar’ banyak juga yang profesinya sebagai koruptor dan penjahat berkerah putih.

Seorang pembantu rumah tangga wanita, sebut saja Tina, di kawasan Jakarta Selatan pernah pergi meninggalkan majikannya karena tidak tahan dengan perlakuan diskriminatif yang ia terima. Kedekatan anak-anak majikannya dengan dirinya akhirnya tak mampu meluluhkan hatinya untuk pergi.

Kebetulan sekali saat ia pamit, baru saja ada penghuni rumah itu yang kehilangan uang. Dan, dengan serempak dirinya yang diperiksa. Tas kecil miliknya yang berisi pakaian pun tak urung dibongkar dan diacak-acak. Tina berusaha tabah meski sebagai manusia normal ia sebenarnya tidak rela diperlakukan kasar.

Diskriminasi ‘besar-kecil’ terjadi dalam banyak bentuk. Budaya feodalisme yang merambah beragam sektor kehidupan turut membudidayakan kebiasaan buruk sangka menjadi penyakit yang menyerang kemana-mana. Seorang tentara mengira dirinya yang paling kuat, sedang orang sipil itu lemah. Seorang dokter merasa dirinya yang paling punya pengetahuan tentang kesehatan, sedang pasien itu bodoh dan tidak tahu menahu soal penyakit.

Orang tua merasa dirinya paling tahu sedang anak-anaknya yang mulai tumbuh dianggap anak bau kencur yang tak mengerti apa-apa. Seorang kepala bagian, seorang manajer, seorang direktur, seorang ketua, merasa bahwa orang-orang yang berada dibawahnya lebih rendah dari dirinya. Rasialisme oleh rezim apartheid di Afrika juga bagian dari bentuk prasangka buruk, bahwa orang kulit putih lebih mulia dari orang kulit hitam. Semua itu adalah perilaku buruk sangka yang diskriminatif dan tidak semuanya benar.

Urat nadi buruk sangka masih sangat banyak. Dengan menekan semaksimal mungkin sikap berprasangka buruk, setidaknya kita telah memberi kontribusi yang cukup berarti bagi kelangsungan hidup banyak orang. Ya, kita memang harus berpikir sebelum bertindak. Kita harus berpengetahuan sebelum berkesimpulan. Sebuah pembiasaan diri yang tidak ringang, memang. Agar kita tidak salah langkah lagi dikemudian hari, karena hidup ini tidak mengenal siaran tunda. Wallahu’alam

Jiwa Yang Menolak Patah



Mengapa ada orang yang mampu terus berjalan meski cobaan menghantamnya bertubi-tubi? Namun kenapa juga yang lainnya justru patah, meski nampaknya ujian dan derita yang is terima relatif lebih ringan? Ada banyak sebab tentu. Tapi salah satunya adalah, karena orang-orang yang mampu melangkah terus, yang tidak mundur dan tidak berhenti, adalah orang-orang yang "kreatif". Jiwa-jiwa mereka kreatif menemukan celah dan terobosan untuk menjaga diri agar tidak patah, agar tidak berhenti. Tentu, di dalamnya ada sebentuk cinta dari Allah swt, sehingga mereka menemukan kunci-kunci untuk tidak berhenti karena cobaan dan nestapa apa pun. Dan, kunci penyangga itu ternyata ada di mana-mana.

Ia Tidak Berhenti, Karena Cinta Ternyata di Sekelilingnya

Laki-laki itu pejabat tinggi suatu perusahaan swasta, berusia 40-an, belum menikah.
Beberapa tahun lalu, ia menuturkan kisah hidupnya yang paling rahasia dalam sebuah harian nasional, demi berbagi dengan seorang yang tertimpa pengalaman buruk mirip yang pernah ia alami. Laki-laki itu membaca dalam rubrik konsultasi, tentang anak muda yang merasa dirinya kotor dan hidupnya berakhir, karena menjadi korban pelecehan seksual temannya sendiri.

Ternyata, laki-laki 40-an tahun itu, semasa SD, pernah diperlakukan sama. Saat itu ia tengah berwisata di pantai bersama guru dan teman-teman sekolahnya. Tiba-tiba ia dipanggil beberapa kakak kelas. Ia menduga akan diajak bermain bersama. Ternyata, di tempat yang jauh dari keramaian, ia mengalami pelecehan seksual, di bawah todongan pisau. Ia sangat terpukul, hingga menangis terus dan mengubur diri di dalam pasir. Sampai sore datang, dan guru serta teman-teman lain yang mencarinya, menemukannya masih di dalam pasir, gemetar.

Bertahun-tahun ia mencoba melupakan peristiwa tragis itu. Ada masa di mana ia merasa sangat membenci para pelaku, yang masih kanak-kanak itu. Ada masa ia merasa tidak sanggup melihat orang lain. Namun pada akhirnya ia mencoba sesuatu yang amat sulit, memaafkan. Satu kata yang terus ia ucapkan hingga dewasa, "maafkan, maafkan." Ia menduga, mereka pun punya masa lalu yang kelam, boleh jadi mereka sebelumnya pernah pula menjadi korban.

Ternyata itulah yang menjadi titik balik ia membuka hatinya untuk melihat sisi lain dunianya. Sebelum "terbangun", ia tidak mampu membuka dirinya untuk orang-orang terdekat, untuk orang tuanya, untuk adik dan kakaknya yang kesemuanya sudah menikah. Hingga dewasa, ia amat penuh dengan laranya sendiri, dan kehilangan waktu untuk peduli pada lingkungannya. Ia tenggelam dalam dunia kerja, menghasilkan uang berlimpah, yang tak kunjung membuatnya "sembuh".

Kemudian, sewaktu ia memberi perhatian dan kasih sayang pada keluarganya, terutama pada para keponakannya, ia menemukan mutiara cinta ternyata ada di mana-mana. Kini, setiap ia datang ke rumah saudara-saudaranya, anak-anak mereka menyambutnya dengan kegembiraan yang polos. Di sanalah, ia merasa bisa berlabuh, menemukan kebahagiaannya, menemukan kesembuhannya. Malah, oleh keluarganya, ia dijadikan "kepala" keluarga, termasuk oleh ayah ibunya. Ternyata, mereka telah lama memendam cinta untuknya. Laki-laki itu pun tidak kalah, jiwanya menolak untuk patah, karena cinta ternyata ada di sekelilingnya.

Ia tidak Berhenti, Karena Memilih Tegak Meski Tertatih-tatih

Betapa kerasnya kehidupan di ibukota. Ini tidak dipungkiri siapa pun. Namun, di Jakarta pula, kita bisa menemukan manusia-manusia yang mampu tegak, meski hidupnya diselang-selingi "kejutan" yang tak nyaman. Di halte pasar di bilangan Tebet Timur, Jakarta Selatan, misalnya. Sepasang suami istri sejak belasan tahun berdiam di kios rokok dan minuman dingin yang sekaligus dijadikan tempat tinggalnya.

Modal yang seadanya, masih harus menanggung hutang para awak bus yang kerap mangkal di sana. Mereka pun masih harus membayar berbagai pungutan demi keamanan. Termasuk ke pejabat lokal, demi perijinan. Semua itu, bahkan sudah dijalani sang istri sejak ibunya masih hidup. Ia dibawa ibunya merantau ke Jakarta sejak kanak-kanak. Dan, kios itu adalah warisan ibunya, sebelum wafat. "Jenazah si Mbok kami bawa ke desa, di sana kan ada kuburan desa. Biaya merawatnya lebih murah. Kalau di sini mahal, nggak sanggup bayar," tuturnya.

Siang itu, percakapan rutin terdengar di halte. "Kapan utangnya dibayar? Udah banyak nih, udah 30 ribu," tutur sang istri pada seorang supir, yang tengah memarkir busnya di depan halte. Sang awak nampak terkejut, seolah tak percaya. "Masak sebanyak itu?" Perempuan itu melanjutkan, "Ini ada catatannya." Suaminya, yang tengah beristirahat di dalam kios, terbangun dan membenarkan istrinya. "Yah, nanti dibayar," itulah akhirnya jawaban sang awak bus. "Kalau begini terus, modalnya bisa habis," ujar perempuan itu perlahan.

Meski sehari-hari harus hidup amat prihatin, namun seperti diakui perempuan itu, ia merasa masih mampu bertahan. "Memang pemasukan sedikit sekali, kami sering terpaksa makan apa adanya, tapi kami masih bisa bertahan. Di kota besar kayak Jakarta, itu sudah bagus kok," ujar sang istri.

Demikianlah. Meski tersendat-sendat, mereka sudah memilih.

Ia Tidak Berhenti, Karena Harus Menjadi Pelita Lingkungan

Boleh jadi, pilihan untuk tidak berhenti, didesak pula oleh lingkungan. Namun, tidak semua orang menyambut desakan ini. Waras Soebroto, penduduk desa Kedung Rejo, Kecamatan Muncar, Banyuwangi, Jawa Timur, adalah orang yang mengambil desakan ini. Hasilnya, ia melangkah terus, dan memberi arti positif buat lingkungannya.

Waras sudah bekerja selama belasan tahun sebagai petugas pengawas hutan lindung. Setiap bulan, ia hanya dibayar 3000 (tiga ribu) rupiah. Ia amat prihatin dengan kondisi suaka alam di Banyuwangi, yang dijarah para penebang liar. Inilah awal mulanya Waras merasa harus melakukan sesuatu: total melindungi suaka alam dengan segala kemampuannya, dengan semua waktu yang ia punya. Termasuk "memerangi" penebangan liar. Resikonya, ia sering menghadapi ancaman dari penebang liar dan pencuri kayu, bahkan kerap diisukan akan diguna-guna.

Meski begitu, Waras tidak mundur. Ia merasa tidak boleh mundur, karena lingkungannya akan tambah hancur jika ia memilih jalan itu. Secara kontinyu Waras malah mencoba meyakinkan masyarakat, tentang pentingnya menjaga suaka alam. Ia terus membangun kesadaran kolektif. Tidak tanggung-tanggung, Waras akhirnya berhasil mengamankan 6 lokasi suaka alam di daerah Banyuwangi.

Pilihan serupa diambil pula La Ode Muhammad. Ia hanyalah satu dari banyak penduduk Desa Wantimoro, Kecamatan Kabawo, Muna, Sulawesi Tenggara. Mulanya, La Ode bersama warga Suku Bajo di kampung Wantimoro tinggal di laut, di atas perahu bido. Suku Bajo memang menjadikan laut sebagai sumber pencaharian, bahkan sebagai tempat berkelana. Namun, kehidupan mereka lama-kelamaan terjepit, akibat potensi ikan makin merosot.

Dalam situasi ini, kekhawatiran soal masa depan menghinggapi mereka. Hingga La Ode tersadar, ia mesti melakukan sesuatu. Lantas, ia mengajak suku Bajo untuk menetap di darat dan bertani dengan pola sanitasi. Mereka berhasil. Ratusan kepala keluarga telah mengubah pola hidupnya, dan mereka mampu bertahan, bahkan tingkat ekonominya terus membaik. Warga menganggap La Ode Muhammad sebagai pelita lingkungannya. Bagi La Ode dan Waras, mereka tidak kalah justru karena lingkungannya.

Ia Tidak Berhenti, Karena Ia Punya Mimpi

Namanya Az Zamakhsyari. Ia seorang ulama terkenal, ahli dalam banyak ilmu pengetahuan agama. Namun, ia lebih terkenal sebagai tokoh ilmu nahwu (gramatika bahasa Arab). Menjadi ahli dalam ilmu bahasa bagi Az Zamakhsyari adalah keberhasilan yang boleh dibilang sebagai prestasi dan kesuksesan luar biasa dalam menghadapi rintangan. Betapa tidak, sejak kecil ia telah mempelajari ilmu nahwu, tetapi hingga menginjak remaja ia tak kunjung paham dengan ilmu yang dipelajarinya.

Bayangkan, selama bertahun-tahun belajar untuk membedakan antara subyek (mubtada) dan obyek (khabar) saja ia tidak bisa. Sementara teman-temannya, hampir semuanya telah mengusai ilmu itu. Bahkan ada di antara mereka yang diberi tugas untuk mengajar adik-adik kelas mereka.

Kenyataan ini nyaris membuat Az Zamakhsyari putus asa. Ia merasa malu dengan usianya yang semakin tua tetapi belum tahu apa-apa, apalagi ia harus duduk dan belajar bersama anak-anak yang jauh di bawah usianya. Di tengah kegalauannya ia berniat meninggalkan sekolah, pergi merantau untuk mencari ilmu di tempat lain.

Setelah cukup jauh berjalan, ia mampir berteduh di sebuah rumah. Ketika sedang beristirahat sambil menyandarkan punggungnya di tembok, ia melihat seekor semut kecil sedang menggigit sisa kulit korma. Semut itu berusaha menarik kulit korma yang ukurannya lima kali lipat lebih besar dari tubuhnya, ke lubang di tembok itu. Berkalikali ia melakukannya namun selalu gagal, kulit korma selalu jatuh ke tanah. Az Zamakhsyari terpaku melihat kelakuan semut itu, yang mempunyai keuletan mengagumkan.
Setelah berkali-kali gagal, ternyata sang semut berhasil membawa naik kulit korma itu. Saat itu muncullah pemikiran dalam benak Az Zamakhsyari, "Seandainya aku melakukan seperti yang dilakukan semut ini niscaya aku juga akan berhasil." Setelah mengucapkan itu, ia memutuskan kembali ke sekolahnya dan membatalkan niatnya untuk merantau. Hasilnya, Az Zamakhsyari benar-benar meraih impiannya. Ia menguasai ilmunya sedemikian rupa. Bahkan, ia menjadi tokoh nahwu yang sangat disegani.

Mimpi dan cita-cita, yang di dalamnya termaktub tekad, semangat dan kerja, memang seringkali membuat orang tidak mau berhenti. Bahkan, seekor semut pun, menghayati semangat ini. Apalagi, kita, manusia.

Ia Tidak Berhenti, Karena Batinnya Kaya


Seorang perempuan kurus berkulit gelap tampak duduk di depan "rumahnya" di sebuah pojok Pintu Air Manggarai, Jakarta Selatan. Dari cangkir plastik yang tak lagi bersih, ia menikmati betul seruputan demi seruputan kopi hangat. "Rumah" perempuan itu hanya susunan papan berbagai bentuk dan ukuran. Ada yang berasal dari kotak kayu yang biasa ditemukan di pasar, ada pula yang memanjang. Bagian yang menjadi atap rumah ditutupi selembar terpal warna biru untuk menghalangi kucuran air saat hujan datang. Antara atap dan lantai hanya ada jarak satu meter. Karenanya, setiap kali keluar masuk "rumahnya" perempuan itu harus membungkuk-bungkuk.

Di ambang pintu yang rendah, sebuah papan penggilasan pakaian dipasang sebagai jembatan. Di bawahnya, selokan kecil meliuk mengalirkan air berwarna hitam kehijauan. Dalam keterbatasan ruang di halaman yang lebarnya hanya setengah meter, ia tampak berusaha mempercantiknya dengan lima pot tanaman yang terbuat dari bekas wadah cat tembok. Kelimanya diatur berjajar memanjang. Jadilah gerbang. Sayangnya, daun-daun tanaman dalam pot itu nyaris habis dipatuki ayam peliharaannya yang tak banyak jumlahnya.

Maryati, nama perempuan itu. Wajahnya sudah berkerut-kerut meski usianya belum genap 40 tahun. "Saya sudah 25 tahun tinggal di sini," katanya sambil menyebut usianya sendiri, 37 tahun. Ia tinggal bersama suaminya. Karena sempit, Maryati hampir setiap malam tidur di luar rumah. Beralaskan karung dan selembar kain. Kadang tidur di "halaman" dan kadang tidur di atas tumpukan rangka besi besar di samping "rumah".
"Syukurlah ada besi-besi itu. Kalau air sungai meluap ya cukup terlindungilah, enggak hanyut," kata Maryati. Meski harus tinggal di "rumah" sempit di lokasi yang tak sewajarnya, dalam setiap pembicaraannya Maryati selalu mengucap syukur. "Alhamdulillah, saya masih punya rumah. Kalau enggak di sini, mau di mana lagi? Di kampung saya di Indramayu saja masih tinggal di rumah saudara," katanya. "Maklumlah, orang kecil," lanjutnya.

Untuk hidup sehari-hari, Maryati berjualan sayur di dekat terowongan Manggarai. Setiap bulan ia mengirim sedikit uang untuk dua anaknya di kampung. Sekali dalam dua hari, Maryati biasa pergi ke Pasar Induk Kramat Jati atau Pasar Minggu. "Beli cabai, tomat, sayur juga," katanya. Namanya berjualan, risiko rugi sudah sangat dia pahami tanpa mengeluh. "Nggak apa-apa kalau rugi, udah risiko," begitu ia menyebut.

Penghasilannya yang minim masih harus dikurangi untuk biaya hidup rutin yang tak bisa dia hindari, misalnya untuk mandi, mencuci, dan buang hajat di WC umum. "Kami mandi bayar di kamar mandi umum, air juga harus beli," ujar Maryati, yang lagi-lagi mengucapkan syukur sewaktu menceritakan ada penghasilan tambahan selain berjualan sayur.

Meski hidup serba prihatin dan mesti menghadapi berbagai situasi yang tidak nyaman, Maryati tak goyah. Ia tetap tinggal di gubuk kecilnya. Tetap berjalan terus mencari nafkah, bahkan tetap berbagi rejeki dengan keluarganya di desa. Keyakinannya, kalau memelihara waktu-waktu shalat ia akan selalu aman. "Kalau kita shalat lima waktu, pasti aman deh," katanya sambil tersenyum.

Melihat Maryati, kita serasa melihat potret kekayaan batin. Ini adalah kekayaan hakiki, yang membuat manusia tidak patah, tidak kalah. Sampai kapan pun. Wallahu’alam

Senin, 09 November 2009

Dosa Lahir & Dosa Bathin



Kita perlu menumpahkan lebih banyak perhatian terhadap jiwa, batin dan hati. Keliru besar orang yang menganggap bahwa kemaksiatan lahir atau dosa fisik (dzunub al jawarih) lebih berbahaya dari kemaksiatan batin atau dosa hati (dzunub al quluub). Salah besar orang yang mengatakan bahwa keterpelesetan kaki, lebih berbahaya dari keterpelesetan hati.

Saudaraku,
Ada banyak orang yang diuji melalui kemaksiatan lahir, tapi kemudian batinnya tersadar telah melakukan kemaksiatan lahir tersebut. Ada banyak orang yang khilaf melakukan dosa fisik, tapi setelah itu hatinya terhenyak lantaran telah, melakukan dosa fisik itu. Melalui kesadaran batin dan hati tersebut, ia berusaha melepaskan diri dari dosa dan kemaksiatan lahir. Lalu, keadaannya menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Tapi, bagaimana bila kita adalah orang yang secara lahir tampak sebagai orang yang shalih. Bila kita secara fisik terlihat dan dikenal orang lain sebagai sosok orang yang tunduk dan taat kepada Allah swt. Sementara dalam hati dan batin kita, tersimpan tumpukan dosa dan kemaksiatan batin yang bisa membinasakan semua kebaikan lahir kita?

Ini bukan menyepelekan kemaksiatan fisik dan dosa lahir. Tapi seseorang memang harus mempunyai perhatian besar membersihkan hati dan batinnya, lebih dari yang lainnya. Seseorang harus mampu memegang kendali hati dan batin dirinya, sebelum ia menjadi penanggung jawab persoalan banyak orang.

Inilah pesan yang terkandung dalam wasiat terkenal Umar bin Khattab radhiallahu anhu, "tafaqqahuu qabla an tasuuduu" perdalamlah fiqih-mu sebelum kalian memimpin. Kata fiqih dalam ungkapan Umar bin Khattab bukanlah kata fiqih yang diartikan paham ilmu dan hukum agama seperti yang dipahami dalam istilah kita di zaman belakangan. Para salafushalih generasi pertama tidak memahami fiqih dari sisi ilmu pengetahuan yang memuat pada teori dan konsep hukum fiqih yang muncul belakangan. Orang yang faqih atau ahli dalam fiqih, dalam pandangan para salafushalih dahulu, utamanya adalah orang yang mampu memahami dan mempraktekkan keikhlasan, tawakkal, tawadhu’, dan berbagai unsur kendali hati lainnya. Bukan hanya orang yang memahami seluk beluk hukum suatu masalah.


Saudaraku,
Ibnu Mas’ud ra pernah menyinggung soal pentingnya aspek penguasaan batin ketimbang aspek penguasaan lahir. Suatu ketika dihadapan sejumlah sahabatnya, ia mengatakan, "Kalian pada zaman ini memiliki sedikit khatib (orang yang tampil berbicara di hadapan orang banyak) tapi mempunyai banyak ulama. Kelak akan datang suatu zaman, banyak
khatib tapi mereka memiliki sedikit ulama." Karena mengerti mendalam tentang masa
lah penguasaan batin seperti inilah, Zaid bin Arqam pun diriwayatkan pernah menolak
untuk diangkat menjadi komandan perang pada saat perang Mu’tah. Zaid bin Arqam
menolak melanjutkan estafeta kepemimpinan perang setelah tiga orang sahabat yang diamanahkan sebagai pemimpin perang gugur sebagai syahid. Ketika itu, Zaid justru meminta kaum Muslimin waktu itu untuk memilih orang lain menjadi komandan perang. Penolakan Zaid sudah tentu bukan penolakan seorang pejuang yang pengecut dan luruh nyalinya setelah melihat dahsyatnya peperangan ketika itu. Karena catatan sejarah perang Mu’tah menegaskan tak ada lagi sejumput rasa takut yang tersisa bagi pejuang Islam yang terlibat dalam peperangan Mu’tah, di mana satu orang pejuang Muslim harus berhadapan dengan 70 orang musuh. Zaid hanya mengetahui agungnya kepemimpinan itu dibanding keadaan dirinya. Itulah yang menjadikannya merendah, lalu meminta agar ada orang lain yang menerima tugas itu.

Saudaraku,
Lihatlah juga, bagaimana sikap Khalid bin Walid ra yang dengan tenang meninggalkan posisinya sebagai komandan perang karena perintah khalifah Umar bin Khattab ra. Padahal Khalid telah membukukan kemenangan pasukannya di berbagai kesempatan. Tapi Khalid adalah orang yang faqih dalam urusan hati. Ia sangat mengerti posisi dirinya, dan bagaimana mengemban amanah yang diberikan kepadanya.

Mengertilah kita dengan ungkapan singkat dan indah yang disampaikan Ibnu Atha,
"Pendamlah wujudmu di bumi ketidakterkenalan. Tak ada sesuatu yang tumbuh dari yang belum dipendam." Maksudnya, pohon yang tumbuh besar itu pasti bermula dari benih yang awalnya di tanam dan dipendam di bawah tanah. Maka, selama kita belum bisa mengubur dan memendam wujud keinginan kita, selama kita belum mampu mengikhlaskan secara total seluruh amal kepada Allah, selama kita belum bisa menyamakan keadaan diri antara diingat dan disebut orang dengan tidak diingat dan tidak disebut orang lain, mustahil kita bisa menumbuhkan pohon amal yang besar dan memberi buah yang berguna bagi orang lain.

Saudaraku,
Semoga Allah swt mengkaruniai kita rasa malu kita terhadap-Nya. Rasa malu karena Ia selalu mengetahui perbuatan hamba-Nya. Rasa malu karena Ia selalu mengawasi dan memperhatikan kita, baik kita dalam kesendirian atau berada di tengah-tengah orang banyak. Baik dilihat oleh orang atau tidak dilihat. Agar kita tetap lekat merasakan bahwa Allah selalu berada di samping kita, melihat dan mengawasi kita.

Apa yang dilakukan banyak salafushalih, merupakan isyarat kuat tentang masalah ini. Mereka, apabila ingat mati, kerap menangis. Jika mengingat kuburan, mereka juga kerap menangis. Dan bila mengingat hari kebangkitan, mereka juga menangis. Jika mengingat surga dan neraka, mereka gemetar ketakutan, dan jika mereka ingat bahwa amalnya kelak akan ditampakkan di hadapan orang banyak, tidak sedikit dari mereka yang pingsan.


Saudaraku,
Mari tatap bersama jalan yang terhampar di hadapan. Ketika kita menatap ke depan, ketika itu pula kesempatan hidup kita pun terus berjalan dan memperpendek jarak hidup kita yang ada batasnya itu. Apa yang sudah kita lakukan saat ini saudaraku?

Antara Mata dan Hati



”Mata adalah panglima hati. Hampir semua perasaan dan perilaku awalnya dipicu oleh pandangan mata. Bila dibiarkan mata memandang yang dibenci dan dilarang, maka pemiliknya berada di tepi jurang bahaya. Meskipun ia tidak sungguh-sungguh jatuh ke dalam jurang". Demikian potongan nasihat Imam Ghazali rahimahullah dalam kitab Ihya Ulumuddin.
Beliau memberi wasiat agar tidak menganggap ringan masalah pandangan. Ia juga mengutip bunyi sebuah sya’ir, "Semua peristiwa besar awalnya adalah mata. Lihatlah api besar yang awalnya berasal dari percikan api."

Hampir sama dengan bunyi sya’ir tersebut, sebagian salafushalih mengatakan, "Banyak makanan haram yang bisa menghalangi orang melakukan shalat tahajjud di malam hari. Banyak juga pandangan kepada yang haram sampai menghalanginya dari membaca Kitabullah."

Saudaraku,
Semoga Allah memberi naungan barakahNya kepada kita semua. Fitnah dan ujian tak pernah berhenti. Sangat mungkin, kita kerap mendengar bahkan mengkaji masalah mata. Tapi belum tentu kita termasuk dalam kelompok orang yang bisa memelihara pandangan mata. Padahal, seperti diungkapkan oleh Imam Ghazali tadi, orang yang keliru menggunakan pandangan, berarti ia terancam bahaya besar karena mata adalah pintu paling luas yang bisa memberi banyak pengaruh pada hati.
Menurut Imam Ibnul Qayyim, mata adalah penuntun, sementara hati adalah pendorong dan pengikut. Yang pertama, mata, memiliki kenikmatan pandangan. Sedang yang kedua, hati, memiliki kenikmatan pencapaian. "Dalam dunia nafsu keduanya adalah sekutu yang mesra. Jika terpuruk dalam kesulitan, maka masing-masing akan saling mecela dan mencerai," jelas Ibnul Qayyim. Pemenuhan hasrat pencapaian seringkali menjadi dasar motivasi yang menggebu-gebu untuk mendapatkan atau menikahi seseorang. Padahal siap nikah dan siap jadi suami/istri adalah dua hal yang berbeda. Yang pertama, nuansa nafsu lebih dominan; sedangkan yang kedua, sarat dengan nuansa amanah, tanggung-jawab dan kematangan.

Saudaraku,
Simak juga dialog imajiner yang beliau tulis dalam kitab Raudhatul Muhibbin: "Kata hati kepada mata, "kaulah yang telah menyeretku pada kebinasaan dan mengakibatkan penyesalan karena aku mengikutimu beberapa saat saja. Kau lemparkan kerlingan matamu ke taman dan kebun yang tak sehat. Kau salahi firman Allah, "Hendaklah mereka menahan pandangannya". Kau salahi sabda Rasulullah saw, "Memandang wanita adalah panah beracun dari berbagai macam panah iblis. Barangsiapa meninggalkannya karena takut pada Allah, maka Allah akan memberi balasan iman padanya, yang akan didapati kelezatan dalam hatinya." (HR.Ahmad)
Tapi mata berkata kepada hati, "Kau zalimi aku sejak awal hingga akhir. Kau kukuhkan dosaku lahir dan batin. Padahal aku hanyalah utusanmu yang selalu taat dan mengikuti jalan yang engkau tunjukkan. Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya dalam tubuh itu ada segumpal darah. Jika ia baik, maka seluruh tubuh akan baik pula. Dan jika ia rusak, rusak pula seluruh tubuh. Ketahuilah, segumpal darah itu adalah hati " (HR. Bukhari dan Muslim). Hati adalah raja. Dan seluruh tubuh adalah pasukannya. Jika rajanya baik maka baik pula pasukannya. Jika rajanya buruk, buruk pula pasukannya. Wahai hati, jika engkau dianugerahi pandangan, tentu engkau tahu bahwa rusaknya pengikutmu adalah karena kerusakan dirimu, dan kebaikan mereka adalah kebaikanmu . Sumber bencana yang menimpamu adalah karena engkau tidak memiliki cinta pada Allah, tidak suka dzikir kepada-Nya, tidak menyukai firman, asma dan sifat-sifatNya. Allah berfirman, "Sesungguhnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta adalah hati yang ada di dalam dada". (QS.AI-Hajj:46)

Saudaraku,
Banyak sekali kenikmatan yang menjadi buah memelihara mata. Coba perhatikan tingkat-tingkat manfaat yang diuraikan oleh Imam Ibnul Qayyim dalam Al-Jawabul Kafi Liman Saala Anid Dawa’i Syafi. "Memelihara pandangan mata, menjamin kebahagiaan seorang hamba di dunia dan akhirat. Memelihara pandangan, memberi nuansa kedekatan seorang hamba kepada Allah, menahan pandangan juga bisa menguatkan hati dan membuat seseorang lebih merasa bahagia, menahan pandangan juga akan menghalangi pintu masuk syaithan ke dalam hati.
Mengosongkan hati untuk berpikir pada sesuatu yang bermanfaat, Allah akan meliputinya dengan cahaya. Itu sebabnya, setelah firmanNya tentang perintah untuk mengendalikan pandangan mata dari yang haram, Allah segera menyambungnya dengan ayat tentang "nur", cahaya. (Al-Jawabul Kafi, 215-217)

Saudaraku,
Perilaku mata dan hati adalah sikap tersembunyi yang sulit diketahui oleh orang lain, kedipan mata apalagi kecenderungan hati, merupakan rahasia diri yang tak diketahui oleh siapapun, kecuali Allah swt, "Dia (Allah) mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati ". (QS. Al-mukmin:l9). Itu artinya, memelihara pandangan mata yang akan menuntun suasana hati, sangat tergantung dengan tingkat keimanan dan kesadaran penuh akan ilmuLlah (pengetahuan Allah) . Pemeliharaan mata dan hati, bisa identik dengan tingkat keimanan seseorang.

Saudaraku,
Dalam sebuah hadits dikisahkan, pada hari kiamat ada sekelompok orang yang membawa hasanat (kebaikan) yang sangat banyak . Bahkan Rasul menyebutnya, kebaikan itu bak sebuah gunung. Tapi ternyata, Allah swt tak memandang apa-apa terhadap prestasi kebaikan itu. Allah menjadikan kebaikan itu tak berbobot, seperti debu yang berterbangan. Tak ada artinya. Rasul mengatakan, bahwa kondisi seperi itu adalah karena mereka adalah kelompok manusia yang melakukan kebaikan ketika berada bersama manusia yang lain. Tapi tatkala dalam keadaan sendiri dan tak ada manusia lain yang melihatnya, ia melanggar larangan-larangan Allah (HR. Ibnu Majah)
Kesendirian, kesepian, kala tak ada orang yang melihat perbuatan salah, adalah ujian yang akan membuktikan kualitas iman. Di sinilah peran mengendalikan mata dan kecondongan hati termasuk dalam situasi kesendirian, karena ia menjadi bagian dari suasana yang tak diketahui oleh orang lain, "Hendaklah engaku menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya yakinilah bahwa Ia melihatmu". Begitu pesan Rasulullah saw. Wallahu’alam.

Sumber Rezeki