Menurut para ahli, buruk sangka merupakan salah satu mekanisme psikologis yang paling alamiah dalam diri manusia. Karena itu, sulit sekali menghilangkan buruk sangka. Banyak faktor yang memicu merebaknya prasangka-prasangka buruk:
1. Faktor lingkungan
Lingkungan memberi pengaruh yang cukup besar bagi lahirnya sikap buruk sangka. Lingkungan dimaksud bisa keluarga, masyarakat, tempat bekerja, sekolah, dan lain sebagainya. Lingkungan yang kejam, kotor, dan tidak sehat seringkali memberi pengaruh kuat bagi lahirnya kebiasaan buruk sangka. Bahkan, dalam budaya orang-orang ‘primitif’, buruk sangka seringkali menjadi acuan utama kehidupan sosial mereka, sebagai kompensasi timbal balik dari lingkungannya yang memang buruk.
Seperti yang terjadi pada suku Dobu di Melanesia. Ideologi hidup mereka adalah sihir. Akibatnya, paradigma hidup mereka pun banyak yang terjungkal. Setiap anak-anak Dobu meyakini bahwa kehidupan mereka diatur oleh kekuatan sihir. Maka, begitu ada yang terkena bencana atau musibah, muncullah aksi balas dendam dari keluarganya kepada pihak-pihak yang diduga telah menyihir anggota keluarganya.
Setiap orang dari suku tersebut selalu takut kalau diracun. Makanan dijaga ketat. Hanya dengan orang-orang tertentu saja suku Dobu mau makan bersama. Sikap curiga, buruk sangka, tidak dapat dipercaya, menjadi budaya hidup mereka.
Lingkungan hidup yang keras bisa menumbuhsuburkan sikap cepat curiga. Ia identik dengan medan tempat setiap orang harus bertarung mempertahankan hidupnya.
Berjibaku mengejar apa yang bisa ia makan, meski harus memangsa orang lain dengan jalan yang salah. Bagaimana dengan lingkungan kita? Atau Bagaimana dengan lingkungan kerja kita?
2. Keyakinan yang salah
Keyakinan yang salah bisa melahirkan buruk sangka. Termasuk dalam kategori ini adalah ideologi atau aqidah yang salah. Seperti berburuk sangka kepada Allah, dengan menuduh-Nya tidak adil. Orang-orang jahiliyah sebelum Islam punya keyakinan yang terkait erat dengan prasangka buruk. Setiap memasuki hari-hari yang baru, mereka mengukur nasib dengan apa yang pertama kali mereka lihat. Bila pagi itu mereka melihat ular, atau burung gagak, atau apa saja yang berwarna hitam, pertanda hari buruk sedang menanti.
Dalam Islam, perilaku seperti itu disebut dengan tathayyur. Secara bahasa, tathayyur artinya sebuah perilaku menyandarkan sikap kepada burung (tha-ir). Tindakan seperti itu dilarang keras oleh Islam karena bisa merusak kemurnian akidah.
Buruk sangka dengan kemasan keyakinan seperti itu masih banyak menyebar dalam masyarakat. Terlebih bila masyarakat tersebut dahulunya penganut paham animisme. Tetapi, dalam perkembangan selanjutnya, masyarakat modern pun banyak yang masih terjerat perilaku seperti itu. Banyak yang menggantungkan nasibnya kepada ramalan-ramalan aneh.
3. Kepentingan Politik
Kepentingan-kepentingan politik juga menjadi pemicu lahirnya sikap buruk sangka. Definisi kepentingan politik yang dimaksud tidak selalu harus dalam konteks kekuasaan di sebuah negara, dari tingkat lurah sampai presiden. Bisa saja berbentuk politik pencapaian jabatan di sebuah instansi, politik pencapaian tujuan tertentu dalam sebuah organisasi, atau dalam sebuah komunitas masyarakat.
Di jaman Soeharto berkuasa, tak sedikit kebijakan politik yang dijalankan berdasarkan buruk sangka. Kekhawatiran dan ketakutan kepada umat Islam dalam kurun yang cukup lama telah menjadi alasan untuk berlaku diskriminatif kepada anak bangsanya sendiri.
Tragedi Priok misalnya, telah banyak memakan korban. Bahkan banyak orang yang sama sekali tak punya urusan dengan peristiwa Priok juga terdzalimi dengan kejam.
Pendek kata, kepentingan politik telah menjadikan alasan sistem kewaspadaan nasional sebagai pembenaran tindakan-tindakan brutal, yang dasarnya hanya prasangka buruk. Identifikasi bahwa semua orang Islam yang nampak konsisten disebut bagian dari ekstrim kanan, yang akan merongrong kewibawaan negara, menggulingkan pemerintahan yang sah, adalah idiom-idiom buruk sangka yang terus dijadikan komoditas politik Soeharto. Sayangnya, idiom ekstrim kanan juga masih didengungkan oleh penguasa saat ini. Bahkan, muncul kebiasaan menyebarkan prasangka dan keresahan dengan menyebut inisial, sebagai tertuduh dalam beberapa kasus.
Tentu semua orang tidak ingin, bila bangsa ini terus menerus dipimpin oleh penguasa yang kebijakan politiknya hanya berdasar buruk sangka, berpijak pada asumsi-asumsi buta, atau bahkan hanya karena selera suka atau tidak suka.
4. Estimasi Pertahanan Diri
Kadang, orang punya prasangka buruk demi kepentingan mempertahankan diri. Rasa aman yang ingin diperoleh seseorang sering kali diwujudkan dengan membuat lingkar pengaman secara psikologis atas semua orang yang dihadapi. Kebiasaan ini bahkan telah merambah ke sektor-sektor kehidupan harian. Ada penelitian unik (Baron & Byrne,1997) tentang kecenderungan para perawat di rumah sakit yang enggan merawat orang-orang gemuk, karena prasangka ringan (mild prejudice) yang tak berdasar. Mereka berprasangka bahwa orang gemuk umumnya sulit diberi pelayanan perawatan. Tentu saja ini belum tentu benar. Tapi, begitulah adanya.
Estimasi pertahanan diri yang dasarnya buruk sangka sangat berbahaya. Ia bisa melahirkan stereotipe. Sebuah penyeragaman pandangan atas suatu obyek dengan totalitas. Seperti sangkaan bahwa ‘laki-laki yang menuntun motor di tengah malam itu pasti pencuri’, ‘orang yang berambut panjang itu pasti preman’, dan lain sebagainya.
Pengalaman unik seorang pemuda berikut bisa menjadi pelajaran. Arman (24 tahun), sempat gemetar dan serta merta menjauhi laki-laki berkulit gelap berminyak, berambut gondrong, berbadan besar serta berpakaian lusuh yang menghampirinya. Malam itu, ia terpaksa tidur di emperan toko. Arman bukan pengemis atau gelandangan, melainkan pemuda ‘rumahan’ yang ‘terlunta-lunta’ di Jakarta. Dari Surabaya, Arman memutuskan mendatangi teman lamanya di Jakarta. Ia berencana menetap sementara di rumah temannya sambil mencari kerja, berbekal ijazah SMA dan beberapa ijazah kursus. Di luar dugaannya, sewaktu tiba di alamat yang dituju, temannya sudah pindah, dan -suatu hal yang tidak aneh- para tetangga tidak tahu alamat barunya.
Malam mulai tiba. Sementara Arman tidak ingin mengeluarkan uang untuk menginap di losmen. Ia khawatir, uang simpanannya keburu habis sebelum nasibnya jelas. Ketika malam semakin larut, akhirnya ia memilih emperan toko untuk bermalam. Tapi segera ia menyesali pilihannya, karena laki-laki gondrong itu sekonyong-konyong menghampirinya. Di kepalanya sudah berkecamuk, orang seram seperti itu pasti akan merampok, menganiaya atau bahkan membunuhnya.
Tapi laki-laki itu dengan ramah menegurnya, dan mengajaknya berbincang. Akhirnya, Arman justru menceritakan masalah yang menimpanya. Melihat ketulusan di sorot mata laki-laki itu, Arman tiba-tiba yakin, ia orang baik-baik. Bahkan ia melihat, laki-laki itu seperti iba padanya. Menurut pengakuan laki-laki itu, ia memiliki adik yang sebaya Arman, dan sekarang tinggal di kampung halamannya, di daerah Sumatera.
Akhirnya, malam itu Arman justru menginap di rumah laki-laki itu, di daerah kumuh pinggiran kali Ciliwung. Dan orang yang kemudian dipanggilnya Abang itu memberinya pekerjaan, sebagai kenek bis yang dikemudikannya. Beberapa bulan Arman tinggal di rumah laki-laki itu, yang ternyata benar-benar baik dan memperlakukan Arman seperti adiknya. Ia juga heran, di jaman seperti ini, masih ada orang yang tulus seperti itu. Kini Arman sudah bekerja sebagai pegawai di suatu kantor. Tapi ia tidak pernah melupakan kebaikan sang Abang.
Sikap stereotipe menilai sesuatu secara keseluruhan juga dialami oleh Musyarif (26). Ia mengisahkan pengalaman yang tak akan ia lupakan. Suatu hari seperti biasa ia naik bis umum dari tempat tinggalnya di Bekasi ke Jakarta untuk bekerja. Menjelang keluar tol UKI, dilihatnya seorang laki-laki dengan kacamata hitam terus mendekat-dekat kepada seorang wanita berjilbab. Musyarif yakin bahwa seorang copet sedang siap-siap beraksi. Ia berusaha sedikit menghalangi laki-laki itu. Begitu bus menurunkan penumpangnya di UKI, wanita berjilbab itu menggamit laki-laki berkacamata hitam itu dan menuntunnya. Ternyata laki-laki itu buta. Dari cara wanita itu membimbingnya, bisa dipastikan ia suaminya, atau paling tidak salah satu keluarga dekatnya."
Bila berlebihan, buruk sangka karena estimasi pertahanan diri bisa menjadi penyakit kepribadian seperti paranoid. Di mana orang punya rasa takut yang sangat berlebihan. Hingga melahirkan anggapan secara konsisten bahwa orang lain berusaha menuntut, merusak, atau mengancam. Bahkan, orang yang berpenyakit seperti itu menolak menceritakan rahasia kepada orang lain karena takut kalau informasi tersebut digunakan untuk melawan dirinya. Bisa juga berdampak kepada gangguan kepribadian skizotipal. Yaitu suatu sikap dan penampilan ganjil, selalu curiga, dan kecemasan sosial yang luar biasa terhadap orang yang tidak dikenal.
5. Ilmu yang Pas-Pasan
Keterbatasan ilmu juga menjadi pemicu bagi munculnya sikap buruk sangka. Minimnya pengetahuan akan berpengaruh pada kemampuan seseorang untuk memandang masalah, menyimpulkan, serta menentukan sikap atas berbagai peristiwa.
Dalam beberapa disiplin ilmu, kata ‘prasangka’ secara definitif diartikan sebagai penguasaan masalah sebesar 50 persen atau lebih tapi tidak sampai seratus persen. Ia sekaligus lawan dari kata ‘faham’, yaitu penguasaan masalah hingga seratus persen. Maka, orang yang tidak faham, sangat mungkin memaknai sesuatu dengan cara yang salah.
Setiap orang harus sadar, bahwa di atas yang tahu masih ada yang lebih tahu. Di atas yang berilmu masih ada yang lebih berilmu. Apalaqi hampir semua ilmu itu dinamis, berkembang, dan memunculkan hal-hal baru.
Buruk sangka karena keterbatasan pengetahuan bisa dihindari dengan mencari tahu. Dahulu, ketika Rasulullah memutuskan menerima perjanjian damai dengan orang-orang Quraisy di Hudhaibiyah, sebagian sahabat -termasuk Umar bin Khatab- memandang itu sebagai kekalahan. Tetapi dikemudian hari ia menyadari kekeliruan dugaannya.
Dahulu, Musa menganggap Hidhir telah bertindak aniaya. Membolongi perahu, membunuh anak, serta memperbaiki bangunan di suatu kampung yang penduduknya pelit. Setelah dijelaskan alasannya barulah ia menyadari bahwa dugaannya itu salah.
Disisi yang lain, ada juga hasil kesimpulan yang akhirnya memberikan nilai minus/kurang atas diri seseorang, yang mana instrumen penilaiannya benar-benar berdasarkan perangkat penilaian yang obyektif (misalnya mengacu pada poin-poin syakhsiyah Islamiyah). Namun ironisnya penilaian itu justru dianggap sebagai kesimpulan yang dipenuhi oleh rasa buruk sangka. Akibatnya, orang yang ilmu-nya pas-pas-an justru menaruh simpati kepada orang yang telah dinilai kurang tersebut. Lebih parah lagi jika rasa simpati itu sudah bersemayam sejak lama, sehingga melahirkan sikap proteksi atas semua penilaian yang kurang atas orang yang dikaguminya. Inilah bentuk lain dari buruk sangka terhadap suatu evaluasi yang obyektif. Wallahu’alam. Hanya orang yang kuat dan berilmu, yang mampu memikul amanah.
6. Diskriminasi ‘Besar-Kecil’
Adanya diskriminasi atas ‘orang-orang kecil’ oleh ‘orang-orang besar’ dalam berbagai bentuk juga merupakan salah satu korban buruk sangka. Seringkali orang-orang kaya memenuhi pikirannya dengan persepsi bahwa orang-orang miskin itu kumuh, udik, bodoh, bahkan pencuri. Padahal, orang-orang ‘besar’ banyak juga yang profesinya sebagai koruptor dan penjahat berkerah putih.
Seorang pembantu rumah tangga wanita, sebut saja Tina, di kawasan Jakarta Selatan pernah pergi meninggalkan majikannya karena tidak tahan dengan perlakuan diskriminatif yang ia terima. Kedekatan anak-anak majikannya dengan dirinya akhirnya tak mampu meluluhkan hatinya untuk pergi.
Kebetulan sekali saat ia pamit, baru saja ada penghuni rumah itu yang kehilangan uang. Dan, dengan serempak dirinya yang diperiksa. Tas kecil miliknya yang berisi pakaian pun tak urung dibongkar dan diacak-acak. Tina berusaha tabah meski sebagai manusia normal ia sebenarnya tidak rela diperlakukan kasar.
Diskriminasi ‘besar-kecil’ terjadi dalam banyak bentuk. Budaya feodalisme yang merambah beragam sektor kehidupan turut membudidayakan kebiasaan buruk sangka menjadi penyakit yang menyerang kemana-mana. Seorang tentara mengira dirinya yang paling kuat, sedang orang sipil itu lemah. Seorang dokter merasa dirinya yang paling punya pengetahuan tentang kesehatan, sedang pasien itu bodoh dan tidak tahu menahu soal penyakit.
Orang tua merasa dirinya paling tahu sedang anak-anaknya yang mulai tumbuh dianggap anak bau kencur yang tak mengerti apa-apa. Seorang kepala bagian, seorang manajer, seorang direktur, seorang ketua, merasa bahwa orang-orang yang berada dibawahnya lebih rendah dari dirinya. Rasialisme oleh rezim apartheid di Afrika juga bagian dari bentuk prasangka buruk, bahwa orang kulit putih lebih mulia dari orang kulit hitam. Semua itu adalah perilaku buruk sangka yang diskriminatif dan tidak semuanya benar.
Urat nadi buruk sangka masih sangat banyak. Dengan menekan semaksimal mungkin sikap berprasangka buruk, setidaknya kita telah memberi kontribusi yang cukup berarti bagi kelangsungan hidup banyak orang. Ya, kita memang harus berpikir sebelum bertindak. Kita harus berpengetahuan sebelum berkesimpulan. Sebuah pembiasaan diri yang tidak ringang, memang. Agar kita tidak salah langkah lagi dikemudian hari, karena hidup ini tidak mengenal siaran tunda. Wallahu’alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar